(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk waktu paling lama 5 (lima) hari oleh penyidik.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 5 (lima) hari oleh Penuntut Umum.
(3) Dalam jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penahanan secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dengan tembusan pada Penuntut Umum.
(4) Setelah menerima surat dari Penyidik, Hakim Pemeriksa Pendahuluan wajib memberitahu dan menjelaskan kepada tersangka melalui surat atau dengan cara mendatangi secara langsung mengenai:
a. tindak pidana yang disangkakan terhadap tersangka;
b. hak-hak tersangka; dan
c. perpanjangan penahanan.
(5) Hakim Pemeriksa Pendahuluan menentukan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c diperlukan atau tidak.
(6) Dalam hal Hakim pemeriksaan pendahuluan berpendapat perlu perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, perpanjangan penahanan diberikan untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.
(7) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan melakukan perpanjangan penahanan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberitahukannya kepada tersangka.
(8) Dalam hal masih diperlukan waktu penahanan untuk kepentingan:
a. penyidikan, hakim pengadilan negeri berwenang melakukan
penahanan atas permintaan penyidik yang ditembuskan kepada penuntut umum, untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; dan
b. penuntutan, hakim pengadilan negeri berwenang melakukan penahanan atas permintaan penuntut umum, untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(9) Waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) atas permintaan penuntut umum dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dalam hal masih diperlukan dapat diberikan perpanjang lagi untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(10) Apabila jangka waktu perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terlampaui, penyidik dan/atau penuntut umum harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menghadapkan tersangka kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.