Category Archives: Flash News

Revisi KUHP dan KUHAP Penting Cegah Penyiksaan

Pelaku penyiksaan, sekalipun aparat penegak hukum, seharusnya mendapatkan sanksi. Polri akui kapasitas personilnya masih perlu ditingkatkan.

Lebih dari satu dekade Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (CAT). Namun, sampai saat ini penyiksaan masih terus terjadi. Catatan KontraS, misalnya, sepanjang periode 2013-214 terjadi 108 kali penyiksaan, 80 di antaranya melibatkan oknum kepolisian. Untuk mencegah penyiksaan berlanjut, perlu ada peraturan yang mengancam sanksi kepada pelaku penyiksaan, terutama untuk aparat penegak hukum.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, menilai pemerintah harusnya menindaklanjuti ratifikasi CAT dengan membentuk dan membahas RUU Tindak Pidana Penyiksaan. Menurutnya, RUU sejenis diperlukan karena ketentuan dalam KUHP dan KUHAP belum mampu memberi sanksi yang tegas terhadap pelaku penyiksaan.

“Kami harap ada UU yang khusus menangani kasus penyiksaan. Itu bisa menjadi alternatif di saat KUHP dan KUHAP sulit direvisi,” kata Haris dalam acara peringatan hari penyiksaan sedunia yang diselenggarakan KontraS di Jakarta, Kamis (26/6).

Haris berpendapat kasus-kasus penyiksaan marak terjadi karena dipicu oleh beberapa hal. Seperti absennya penegakan hukum yang tidak mengedepankan transparansi, akuntabel, jujur dan adil terhadap para pelaku penyiksaan, khususnya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu, penyelesaian kasus penyiksaan yang dilakukan aparat kerap diselesaikan lewat mekanisme internal, sehingga memperpanjang praktik impunitas.

Haris melihat terbatasnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap pemenuhan hak-hak korban memicu terjadinya praktik penyiksaan. Begitu pula dengan minimnya kemampuan institusi penegak hukum untuk mendorong munculnya efek jera kepada oknum.

Hasil pemantauan KontraS periode Juni 2014-Mei 2015 menemukan 84 kasus penyiksaan dengan korban 274 orang. Dari 84 kasus itu 35 kasus penyiksaan dilakukan oknum kepolisian, 15 kasus oleh petugas sipir penjara dan 9 kasus oleh TNI. Selain itu KontraS mencatat ada 25 kasus hukuman cambuk yang dilakukan aparat pemerintah daerah Aceh terhadap terhadap 183 orang.

Haris mengusulkan ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus serius menghentikan praktik-praktik penyiksaan di Indonesia. Terutama di wilayah yang rawan konflik seperti Papua, Poso dan Maluku. Evaluasi dan peningkatan pemahaman aparat penegak hukum dan keamanan (Polri dan TNI) juga diperlukan agar mereka mampu melakukan tugas dan fungsi penyelidikan serta penyidikan. Sehingga tidak menggunakan jalan pintas dengan menggunakan metode penyiksaan.

Kedua, pemerintah mempercepat pembahasan RUU KUHP atau RUU Tindak Pidana Penyiksaan untuk mengisi kekosongan hukum. Serta meratifikasi Protokol Opsional CAT dan Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. “Segera ratifikasi Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional yang bisa dijadikan rujukan dalam melihat ruang akuntabilitas untuk kejahatan penyiksaan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity,” ujarnya.

Ketiga, institusi-institusi negara independen yang mandatnya melakukan pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan harus secara ketat menggunakan alat ukur terpercaya. Institusi eksternal harus dipastikan bisa bersinergi dengan institusi lain untuk memastikan mekanisme pencegahan dan penghukuman atas kejahatan penyiksaan masih berjalan. Juga memastikan perlindungan kepada saksi, korban dan pemulihan hak-hak korban sesuai dengan standar hukum dan HAM internasional.

Direskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Krishna Mukti, mengakui praktik penyiksaan masih terjadi di Indonesia. Guna mengatasi kasus penyiksaan yang kerap terjadi dalam kepolisian diperlukan peningkatan kapabilitas anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya. Minimnya kemampuan aparat itu memicu munculnya praktik penyiksaan. “Penyiksaan itu kerap muncul sebagai dampak atau dianggap sebagai cara cepat untuk mengungkap suatu kasus,” paparnya.

Krisna mengatakan untuk mengurangi praktik-praktik penyiksaan oleh aparat kepolisian diperlukan pengawasan banyak pihak. Pengawasan yang baik akan mendorong langkah terfokus terhadap masalah-masalah yang perlu dibenahi. Langkah yang bisa dilakukan antara lain meningkatkan kapabilitas aparat kepolisian. Aparat kepolisian harus melek teknologi karena teknologi mempermudah aparat dalam mencari informasi guna mengungkap kasus. Mereka juga harus punya pengetahuan yang baik, termasuk pemahaman terhadap HAM dan konsep-konsep antipenyiksaan.

Dirjen HAM Kemenkumham, Mualimin Abdi, berjanji akan menindaklanjuti hasil pemantauan KontraS terhadap kasus-kasus penyiksaan, terutama yang dilakukan sipir penjara. Menurutnya, regulasi yang ada sudah secara jelas mengamanatkan agar setiap orang tidak boleh mengalami ketidakadilan seperti penyiksaan. “Tidak boleh seseorang itu diperlakukan tidak adil apalagi penyiksaan,” urainya.

Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan surat presiden, sebuah tanpa lampu hijau agar RUU KUHP dibahas bersama DPR. Mualimin menegaskan Kemenkumham akan menindaklanjuti surat Presiden Jokowi itu secepatnya. Berdasarkan rapat terakhir di Senayan, Kemenkumham dan Komisi III DPR sepakat untuk lebih dahulu merevisi Buku I UU KUHP. Jika itu selesai maka dilanjutkan Buku II. Pemerintah menargetkan revisi KUHP akan selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir.

Sumber: HukumOnline.com

Revisi KUHAP Dulu, KUHP Kemudian

RKUHAP dianggap lebih memiliki peran yang besar bagi sistem hukum di Indonesia.

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) direncanakan akan segera dibahas oleh DPR dan pemerintah. Bahkan, draf RKUHP yang merupakan inisiatif pemerintah itu ditargetkan akan tuntas pada DPR periode sekarang. Terkait hal ini, advokat senior Luhut MP Pangaribuan berpandangan berbeda.

Luhut menilai RKUHP seharusnya tidak dibahas lebih dahulu. Menurutnya, yang seharusnya lebih dahulu dibahas adalah Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). “Yang masuk prolegnas prioritas baru RKUHP, padahal sebenarnya ini (KUHAP, -red) lebih penting daripada KUHP nya,” ujarnya saat menjadi narasumber pada diskusi panel yang digelar oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) di Gallery BEI, di Jakarta (25/6).

Luhut menilai, RKUHAP lebih memiliki peran yang besar bagi sistem hukum di Indonesia, khususnya dalam sistem peradilan pidana (SPP). Dibandingkan dengan RKUHP, menurutnya, RKUHAP menjadi pegangan bagi penegak hukum khususnya dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan SPP.

“Menurut saya, RKUHAP ini sumbangannya terhadap bagaimana hukum kita besar sekali. Karena bagaimana polisi bekerja, hakim bekerja, bagaimana lawyer bekerja. Saya kira banyak diindikasikan oleh sistem peradilan pidana ini,” paparnya.

Luhut juga melihat bahwa SPP di Indonesia saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Ini dikarenakan pendekatan yang digunakan masih belum konsisten. “Kami menyadari kenapa sistem peradilan pidana kita belum sempurna sebagaimana kita harapkan, karena pendekatannya tidak konsisten pada konsep sebenarnya yang harus dianut,” terangnya.

Menurut Luhut, konsep ideal untuk RKUHAP ke depan adalah dengan menganut konsep due process of law atau due process model. Dengan konsep ini diharapkan bisa menjadi lompatan besar bagi perbaikan SPP di Indonesia. Sejak diundangkan pada tahun 1981, KUHAP telah menjadi ‘karya agung’ bagi bangsa Indonesia. Ia berharap, revisi nanti bisa menghasilkan sistem yang lebih modern.

“Jadi, kalau kita konsisten dengan hal ini, akan menghasilkan suatu sistem yang sungguh-sungguh lebih modern yang sesuai  dengan sistem peradilan pidana yang ada secara universal,” ujar Luhut.

Tak sampai di situ, Luhut mengkritik DPR yang kerap tak fokus dalam membahas RUU. Ketidakfokusan ini berdampak kepada undang-undang yang dihasilkan oleh DPR. “Akibatnya undang-undang kita, saya kira banyak yang tidak sempurna. Jadi banyak kelemahan sehingga hukum kita sebagaimana yang kita ketahui sekarang ini,” katanya.

Di tempat yang sama, Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani sepakat dengan pemikiran yang diuutarakan Luhut. Menurut politisi dari PPP ini, RKUHAP jauh lebih penting untuk dibahas lebih dahulu daripada RKUHP. “Saya menyampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM, kenapa kok yang diajukan RKUHP dahulu, kenapa tidak RKUHAP? Itu menurut saya jauh lebih penting,” ujar Arsul.

Menurut Arsul, seandainya KUHP tidak direvisi sekalipun, hal itu tidak berpengaruh. Sebab KUHP sebagai hukum materill saat ini sudah ada hukumnya. “Karena KUHP tidak diapa-apakan, hukum materiil kita sudah ada sekarang. Harusnya menurut saya KUHAP dulu,” terangnya.

Arsul menduga, hal itu terjadi karena pemerintah belum menyiapkan draf RKUHAP untuk diberikan kepada DPR. Sehingga pembahasan kali ini lebih difokuskan kepada RKUHP yang drafnya sudah ada dan telah diberikan ke DPR oleh pemerintah. “Sebetulnya kalau DPR boleh memilih, kita lebih senang membahas KUHAP dulu daripada KUHP. Karena setelah KUHAP, lalu kita membahas undang-undang kelembagaan penegak hukum. KUHP mestinya bisa terakhir,” pungkasnya.

Sumber: HukumOnline.com

Ini Gagasan DPD Soal Revisi UU KUHP dan KUHAP

Lombok, – DPD RI punya gagasan besar terkait revisi UU KUHP. Seperti apa gagasan senator?

“Sebenarnya KUHP ini kan rumusannya sudah puluhan tahun saya ikut di tahun 2004 di kelompok kerja itu sebenarnya ada kemajuan progresif misalnya politik penghukuman. Selama ini undetermine punishment, sekarang memutuskan range minimal sekian sampai sekian mulai diadopsi di KUHP baru,” kata Farouk saat berbincang dengan detikcom di Hotel Holiday Resort, Lombok, NTB, Sabtu (13/6/2015).

Gagasan keduanya adalah mengakomodir latar belakang kasus sebagai pertimbangan hakim. Sehingga putusan hakim akan jauh lebih objektif.

“Mengakomodir latar belakang kenapa orang melakukan itu jadi pertimbangan hakim. Orang miskin mencuri ayam beda dengan korupsi itu nanti diakomodir,” papar Guru Besar Kriminologi PTIK ini.

Gagasan berikutnya adalah diakomodir hukuman untuk perilaku yang melanggar hukum dan meresahkan masyarakat. “Misal masyarakat ribut santet ya diatur bukan tukang santetnya tapi bagaimana perilaku itu,” katanya.

Kemudian terkait KUHAP, Farouk menekankan perlunya praperadilan dengan hakim komisaris. “Jadi kalau ada yang mempertahankan pra peradilan, kelemahannya harus diantisipasi. Hakim komisaris perorangan, kalau pra peraadilan di muka sidang,” katanya.

Dia juga mengusulkan mekanisme pemeriksaan yang cepat. Sehingga persoalan dapat cepat diselesaikan.

“DPD juga pernah mengusulkan tahun 2009 lalu agar penghentian penyidikan bisa dilakukan penyidik. Memang sudah ada deponering tapi kan yang kita hadapi kasus serba ringan, misal pertikaian antar warga atau hubungan keluarga ini kan perselisihan ringan yang busa didamaikan,” terang Farouk sembari menegaskan kesiapan DPD membantu DPR dalam merevolusi RUU tentang hukum itu.

Sumber: detik.com

Mahfud Minta Jokowi Tata Kembali Hukum Acara Pidana

Jakarta, CNN Indonesia — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengusulkan adanya perbedaan dalam memandang hukum sebagai norma dan hukum sebagai peristiwa dalam menyikapi hasil putusan praperadilan bekas Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo.

Hal itu disampaikan kepada Presiden Joko Widodo ketika memenuhi undangan makan siang di Istana Negara, Jakarta kemarin. Menurut Mahfud, hukum sebagai norma tidak seharunya diadili di pengadilan namun di MK. Hukum yang diadili di pengadilan adalah hukum sebagai kasus.

Seperti diberitakan sebelumnya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Haswandi resmi menerima sebagian gugatan yang diajukan Hadi Poernomo terkait penetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (Baca juga: Masyarakat Sipil Didesak Laporkan Hakim Haswandi ke KY)

Status tersangka yang disematkan lembaga antirasuah pada Hadi dinyatakan hakim batal demi hukum. Hakim menilai KPK tak berwenang menetapkan status itu lantaran penyidikan kasus itu mengabaikan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengharuskan status penyidik berlatar belakang polisi dan jaksa.

Mahfud menilai putusan tersebut secara tidak langsung mempersoalkan status penyidik PNS yang ada di sejumlah lembaga, seperti Kementerian Kelautan, Kementerian Hukum dan HAM dan Direktorat Pajak.

“Dengan adanya putusan itu, tidak kurang dari 11 undang-undang dan lembaga penyidik yang bukan Polri menjadi tidak sah. Kalau dibenarkan, akan ada kira-kira gugatan pada pemerintah bahwa dia dihukum secara tidak sah,” kata Mahfud.

Oleh sebab itu, Mahfud mengusulkan kepada Jokowi agar melakukan rekonsolidasi hukum acara pidana untuk ditata kembali, diatur, dan ditegaskan menurut undang-undang mengenai apa yang sebenarnya dikehendaki.
Soal penyidik berlatar belakang selain jaksa dan polisi Mahfud menilai itu hal yang wajra dan diperbolehkan selama sesuai dengan bidang keahlian masing-masing.

“Peradilan militer itu penyidiknya bukan jaksa, bukan polisi, dan itu berlaku puluhan tahun. Komnas HAM juga bisa menyelidik,” kata dia. (Baca juga: KPK Kritisi Pertentangan Putusan Hakim Haswandi Dulu dan Kini)

Atas pandangannya ini, Jokowi menurut Mahfud menyambut. Bahkan, anggota Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki langsung mengolah dan mencatat gagasan tersebut.

“Pemerintah melalui aparat yang ada segera konsolidasi KUHAP biar tidak kacau,” kata Mahfud, Selain itu, Mahkamah Agung juga bisa mengambil langkah-langkah lanjutan. Misalnya dengan membuat Peraturan Mahkamah Agung atau Surat Edaran Mahkamah Agung yang membatasi tentang mana saja putusan yang tidak boleh dijadikan novum, putusan yang tidak boleh dilakukan lagi, dan putusan yang tetap berlaku.

Mahfud juga menilai bahwa putusan ini bisa melebar kemana-mana dan melampaui kewenangannya, meski ia sadar bahwa putusan hakim, menurut konstitusi, tidak bisa dibatalkan dan harus tetap berlaku. Namun, ucap dia, pemerintah tetap harus melakukan antisipasi akibat-akibat yang timbul akibat beleid-nya. (Baca juga: Ribuan Kasus Hukum KPK Terancam Digugat Pasca Putusan Hadi)

“Kenapa tidak dikatakan saja penyidikannya tidak sah, bukan karena penyidiknya tapi karena belum pernah dipanggil misalnya langsung tersangka,” kata dia.

Untuk diketahui, Hadi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014 atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT Bank Central Asia Tbk Tahun 1999 sehingga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 375 miliar dan menguntungkan pihak lain.

Atas perbuatannya, Hadi disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Dia terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Sumber: CNN Indonesia

Temui Presiden, Mahfud MD Usulkan Jokowi Rekonsolidasi KUHAP

Jakarta – Hakim tunggal Haswandi mengabulkan sebagian permohonan tersangka korupsi Hadi Poernomo dengan menyatakan penyelidikan KPK tidak sah karena penyidiknya tidak sah. Presiden Jokowi disarankan untuk melakukan rekonsolidasi KUHAP.

“Saya usul kepada Presiden agar melakukan rekonsolidasi hukum acara pidana untuk ditata kembali, diatur, ditegaskan, menurut UU itu apa yang dikehendaki. Apakah hukum-hukum khusus untuk hukum acara tidak boleh atau tidak. Menurut saya tetap harus boleh. Karena di manapun boleh penyidik sipil itu menurut bidangnya masing-masing,” mantan ketua MK Mahfud MD usai makan siang bersama Jokowi di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta, Kamis (4/6/2015).

Mahfud mencontohkan di peradilan militer itu penyidiknya bukan jaksa dan bukan polisi. Selain itu, Komnas HAM itu punya kewenangan untuk bisa menyidik dan menyelidik. Dan itu sudah berlaku sejak lama.

“Saya mengusulkan ada perbedaan memandang hukum sebagai norma dan hukum sebagai peristiwa. Kalau hukum sebagai norma bukan diadili oleh PN, tetapi diadili oleh MK. Tapi kalau hukum sebagai kasus ya pengadilan,” jelas mantan politikus PKB itu.

Menurut Mahfud, Presiden merespon positif usulan tersebut. Langkah yang harus dilakukan, lanjut Mahfud, pertama pemerintah harus mengkonsolidasikan KUHAP melalui aparatnya. Kedua, Mahkamah Agung (MA) harus mengambil langkah–langkah sebelum konsolidasi.

“Pemerintah harus segera melalui aparat yang ada untuk konslidasi dulu, KUHAP. Yang kedua, MA mengambil langkah-langkah antara sebelum konsolidasi. MA bisa buat Perma atau Sema yang membatasi tidak boleh dijadikan novum, tetap berlaku,” paparnya

Sumber: Detik.com

Metamorfosis “Wajah” Praperadilan

Sebelum putusan Hakim Sarpin, sudah ada putusan-putusan praperadilan lain yang menerabas Pasal 77 KUHAP.

Dahulu, upaya praperadilan tak sepopuler sekarang. Sebagian kalangan memandang praperadilan tidak lebih dari pemeriksaan formil terkait sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi yang diajukan tersangka atau pihak ketiga berkepentingan.

Seperti yang dialami tersangka kepemilikan narkoba, Susandhi bin Sukatma alias Aan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan awal 2010 lalu. Hakim tunggal Mustari mengandaskan praperadilan Aan dengan menyatakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan aparat Polda Metro Jaya sudah sesuai Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Mustari juga menolak memeriksa sah atau tidaknya penggeledahan karena penggeledahan tidak masuk ranah praperadilan sebagaimana diatur Pasal 77 KUHAP. Padahal, penggeledahan Aan dilakukan tanpa izin penggeledahan dan dilakukan warga sipil bernama Victor B Laiskodat. Alhasil, dalam sidang pokok perkara, dakwaan Aan dinyatakan batal demi hukum.

Praperadilan Aan merupakan salah satu potret “wajah” praperadilan masa lalu sebelum adanya putusan praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi yang membatalkan penetapan tersangka Komjen (Pol) Budi Gunawan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperluas objek praperadilan meliputi penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.

Jejak Sarpin ini diikuti oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Selatan lainnya, seperti Yuningtyas Upiek Kartikawati yang membatalkan penetapan tersangka mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan Haswandi yang membatalkan penyidikan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo. Bahkan, Haswandi juga menyatakan penyelidikan Hadi tidak sah.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Chudry Sitompul mengatakan, keberanian para hakim tersebut muncul setelah adanya putusan Sarpin dan putusan MK. Ia menganggap putusan Sarpin merupakan momentum yang membuat hakim-hakim berani melawan opini bahwa yang tidak pro lembaga antikorupsi berarti tidak pro pemberantasan korupsi.

“Padahal, penegak hukum yang memberantas korupsi itulah yang seharusnya dibenahi, termasuk KPK. Kalau dulu, walau KPK banyak kelemahan dalam persoalan administratif, hakim tidak berani. Hakim takut, sehingga mengikuti saja. Tapi, setelah ada putusan Sarpin, hakim-hakim itu jadi berani,” katanya kepada hukumonline.

Akan tetapi, sebelum putusan Sarpin, sebenarnya sudah ada sejumlah putusan praperadilan yang tidak “biasa”. Antara lain, putusan praperadilan tersangka korupsi bioremediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah, serta putusan praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Gorontalo Corruption Watch (GCW), dan anggota DPD Bengkulu Muspani.

Ada pula beberapa putusan praperadilan lain yang juga “menerabas” Pasal 77 KUHAP, yaitu putusan praperadilan PT Inti Indosawit Subur (anak usaha Asian Agri) dan putusan praperadilan PT Newmont Minahasa Raya. Beberapa contoh putusan praperadilan tersebut menunjukan adanya metamorfosis “wajah” praperadilan.

Dari yang semula hanya memeriksa sesuai ketentuan Pasal 77 KUHAP secara kaku, kemudian mulai “malu-malu” menerabas Pasal 77 KUHAP, hingga akhirnya penerabasan itu dikukuhkan dengan adanya putusan MK yang memperluas objek praperadilan. Berikut perubahan “wajah” praperadilan yang dirangkum oleh hukumonline.

  1. Penetapan tersangka tidak sah

Putusan Sarpin mungkin menjadi putusan praperadilan yang paling fenomenal di tahun 2015. Putusan Sarpin terlihat mencolok, mengingat subjek pemohon praperadilan adalah seorang calon Kapolri. Selain itu, putusan Sarpin memicu gelombang praperadilan, khususnya praperadilan yang diajukan tersangka kasus korupsi di KPK.

Putusan Sarpin diikuti pula oleh Haswandi dan Upiek. Namun, sebenarnya, sebelum putusan Sarpin, telah ada putusan serupa pada November 2012. Hakim tunggal Suko Harsono menyatakan tindakan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan tersangka kasus korupsi bioremediasi Chevron, Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka tidak sah.

Terhadap putusan praperadilan ini, Kejagung sempat berupaya mengajukan kasasi. Pengajuan kasasi Kejagung ditolak di PN Jakarta Selatan, sehingga Kejagung mencoba meminta pembatalan dari Mahkamah Agung (MA) dan melaporkan Suko ke Badan Pengawasan MA. Akhirnya, putusan praperadilan tersebut dibatalkan dan Suko dikenakan sanksi.

  1. Penyitaan, penggeledahan, dan pemasangan police line tidak sah

Koordinator LSM MAKI, Boyamin Saiman yang juga pemilik “Boyamin Saiman Law Firm” pernah mempraperadilankan Polri karena pemasangan garis polisi (police line) di Fasilitas Penunjang Satuan Rumah Susun (Fasum) Apartemen Slipi. Pengurus dan penghuni memberikan kuasa kepada kantor hukum Boyamin untuk memperaperadilankan Polri.

Pasalnya, kegiatan penggeledahan dan penyitaan yang dilanjutkan dengan pemasangan police line tersebut dilakukan aparat Kepolisian tanpa memberikan lampiran atau salinan apapun kepada pemohon. Alhasil, hakim tunggal Belman Tambunan mengabulkan praperadilan para pemohon yang diajukan ke PN Jakarta Barat pada Juli 2013.

Belman menyatakan tindakan penyitaan yang dilakukan Polres Jakarta Barat terhadap Fasum Apartemen Slipi tidak sah. Ia juga memerintahkan Polres Jakarta Barat melepaskan penyegelan ruang-ruang Fasum dan pintu masuk, serta mencabut garis polisi di ruang serbaguna, sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Senada, pada 2008, PN Jakarta Selatan juga mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Direktur Utama PT IIS Semion Tarigan. Berdasarkan putusan praperadilan No. 10/Pld.Prap/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 1 Juli 2008, penyitaan yang dilakukan Dirjen Pajak terhadap ratusan dus dokumen perpajakan 15 anak usaha Asian Agri dianggap tidak sah.

  1. Memerintahkan melanjutkan penanganan perkara yang berlarut-larut

Pada November 2010, Muspani yang ketika itu menjabat sebagai anggota DPD Bengkulu mempraperadilankan berlarut-larutnya pelimpahan perkara Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin ke PN Jakarta Pusat. Muspani menduga Kejagung telah menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara Agusrin di secara diam-diam.

Akan tetapi, dalam persidangan, Kejagung membantah telah menghentikan perkara Agusrin. Oleh karena itu, hakim tunggal Supraja memerintahkan Kejagung untuk segera melimpahkan perkara Agusrin ke pengadilan. Dengan demikian, Supraja mengakui penanganan “perkara yang berlarut-larut tidak dilimpahkan ke pengadilan” sebagai objek praperadilan.

  1. Menyatakan penyidik Polri tidak berwenang

Putusan praperadilan petinggi PT Newmont Minahasa Raya (NMR) pada 2005 juga menjadi salah satu putusan praperadilan yang mencolok kala itu. Pasalnya, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Johanes E Binti menyatakan status tahanan kota dan wajib lapor enam orang petinggi NMR tidak sah menurut hukum.

Dalam pertimbangannya, Johanes berpendapat, penyidik Polri dinilai tidak berwenang melakukan penyidikan, melainkan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Ia menganggap penyidikan yang dilakukan penyidik Polri tidak sah melanggar ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama Penegakan Hukum Lingkungan Satu Atap (SKB).

Sama halnya dengan putusan praperadilan tersangka kasus gula impor ilegal, Abdul Waris Halid. Pada Juli 2004, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Effendi mengabulkan permohonan praperadilan Abdul. Effendi memerintahkan Mabes Polri membebaskan Abdul karena tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan Mabes Polri tidak sah.

Effendi menyatakan penyidik Polri tidak berwenang menangani kasus gula impor ilegal. Penyidik yang berwenang menangani kasus Abdul adalah PPNS Bea dan Cukai. Kewenangan penyidikan oleh PPNS Bea dan Cukai itu sesuai dengan ketentuan Pasal 112 UU No.10 Tahun 1995 jo Pasal 6 UU No.8 tahun 1981 jo PP No.55 tahun 1996.

  1. Mengakui legal standing LSM

LSM MAKI tercatat beberapa kali mengajukan upaya praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Salah satunya, upaya MAKI mempraperadilankan berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi Sisminbakum atas nama tersangka Yusril Ihza Mahendra di Kejagung. Namun, permohonan MAKI ditolak hakim tunggal Ari Jiwantara.

Walau begitu, Ari mengakui legal standing MAKI sebagai pihak ketiga berkepentingan sebagai pemohon praperadilan. Sebelumnya, pihak ketiga berkepentingan hanya dimaknai sebagai saksi korban/pelapor. Namun, putusan tersebut memperluas makna pihak ketiga berkepentingan. Pengakuan ini diperkuat dengan putusan MK tanggal 8 Januari 2013.

Tak hanya MAKI, legal standing LSM Gorontalo Corruption Watch (GCW) sebagai pemohon praperadilan juga diakui Mien Trysnawati, hakim tunggal yang menyidangkan praperadilan GCW di PN Gorontalo. Mien mengabulkan praperadilan GCW dan membuka kembali penyidikan kasus dugaan korupsi mantan Gubernur Gorontalo Fadel Mohammad.

Sumber: HukumOnline.com

MA Anggap PERMA Praperadilan Belum Perlu

Materi putusan MK bisa dimasukkan dalam revisi KUHAP yang memuat kewenangan hakim pemeriksaan pendahuluan dan praperadilan.

Masukan sejumlah pihak agar Mahkamah Agung (Perma) membuat aturan hukum acara  praperadilan dan standar pemeriksaan dua alat bukti pasca putusan MK yang menafsirkan dua alat bukti dan memperluas objek praperadilan dinilai masih belum perlu. Sebab putusan MK dianggap sudah jelas dan hukum acara praperadilan saat ini cukup mengacu pada KUHAP yang sudah ada saat ini.

Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi menegaskan MA memandang belum perlu untuk mengeluarkan baik dalam bentuk Peraturan  MA maupun surat edaran. Sebab, putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait tafsir bukti permulaan yang cukup dan perluasan objek praperadilan sudah cukup jelas. Objek  praperadilan hanya tinggal menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

“Adanya putusan MK itu, saya rasa para hakim sudah tahu praperadilan yang dulu objeknya hanya penahanan, penangkapan, penghentian penyidikan, sekarang ditambah lagi mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledehan, dan penyitaan,” ujar Suhadi saat dihubungi di Jakarta, Senin (11/5).

Dia mengatakan pasca putusan MK ini para pencari keadilan bisa memasukkan penetapan tersangka, penggeledehan, dan penyitaan sebagai objek praperadilan dalam permohonannya. Dia memperkirakan para hakim di pengadilan negeri juga sudah memahami penambahan objek praperadilan tersebut.

“Perma yang mengatur hukum acara dianggap tidak diperlukan lagi. Kan putusannya juga sudah jelas itu, apalagi Putusan MK itu sudah diumumkan di media, tentunya para hakim bisa membacanya,” tegasnya.

Senada dengan Suhadi, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Wicipto Setiadi mengatakan hukum acara praperadilan yang sudah ada saat ini sudah cukup ditambah dengan materi isi putusan MK. Putusan MK hanya memutuskan objek praperadilan ditambah dengan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. “Hukum acara hanya tinggal ikuti yang ada di KUHAP, kecuali KUHAP direvisi,” kata Wicipto.

Dia melanjutkan bisa saja materi putusan MK nantinya dimasukkan dalam revisi KUHAP yang memuat kewenangan hakim pemeriksaan pendahuluan (hakim komisaris) dan praperadilan. Hakim pengawas ini menilai keabsahan upaya paksa sepanjang proses penyidikan dan penuntutan. Namun, fungsi hakim pengawas ini diperkirakan akan memberatkan hakim yang bersangkutan karena harus menilai upaya paksa sendirian.

Dia mencontohkan ketika seseorang ditahan atau ditangkap terlebih dulu harus diperiksakan oleh hakim pengawas. Dengan begitu, adanya keberadaan fungsi hakim pengawas ini secara otomatis akan mengurangi permohonan praperadilan. “Sementara fungsi praperadilan tetap ada,” kata Wicipto.

Ditegaskan Wicipto, lembaga hakim pemeriksaan pendahuluan masih sebatas konsep dalam draft revisi KUHAP. Prinsipnya, hanya kontrol kesewenang-wenangan aparat hukum dalam melakukan upaya paksa. “Tetapi, konsepnya masih menjadi perdebatan yang cukup panjang,” katanya.

Sumber: HukumOnline

MA Diminta Terbitkan Aturan Praperadilan

MA belum memikirkan untuk menerbitkan SEMA atau PERMA praperadilan ini karena putusan MK dianggap sudah jelas.

Sebagian kalangan meminta MA menerbitkan peraturan MA (Perma) terkait pelaksanaan putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait tafsir bukti permulaan yang cukup dan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Soalnya, standar dua alat bukti (permulaan) dan hukum acara permohonan praperadilan dalam KUHAP dianggap belum memadai terutama pasca putusan MK itu diperkirakan bakal “hujan” permohonan praperadilan di pengadilan.

“Menindaklanjuti putusan MK ini, MA seharusnya mempersiapkan Perma standar pemeriksaan praperadilan terkait dua alat bukti dan hukum acara praperadilan. Sebab selama ini hukum acara praperadilan dengan standar yang baik belum diatur di KUHAP,” ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono saat berbicara dalam diskusi bertajuk “Wajah Baru Praperadilan Pasca Putusan MK di Bakoel Koffie Jakarta, Jumat (8/5) kemarin.

Supriyadi mengatakan walaupun sudah putusan MK yang memberi panduan baru, tetapi belum menjawab seluruh persoalan praperadilan. Misalnya, selama ini proses pemeriksaan permohonan praperadilan masih menggunakan hukum acara perdata, padahal masuk  pidana; bagaimana prosedur memperoleh alat bukti sah.

“KUHAP tidak mengatur standar alat bukti, karena selama ini praperadilan hanya memeriksa bukti formal terbatas administrasi surat-menyurat. Selain itu, apakah putusan praperadilan ini bisa diajukan banding atau kasasi atau tidak? Terus bagaimana kualifikasi hakimnya,” papar Supriyadi. “MA sesegera mungkin memperbaiki panduan praperadilan yang selama ini dipegang para hakim (SEMA No. 14 Tahun 1983).”

Selain itu, penyidik dan penuntut sesegera mungkin harus melakukan perbaikan prosedur pengambilan dan pengumpulan alat bukti terkait penetapan tersangka dan lain-lain agar secara professional mereka mampu menghadapi pengujian praperadilan.

“Jadi, seharusnya pasca putusa MK profesionalitas aparat penegak hukum ditingkatkan, lalu standar alat bukti juga ditingkatkan,” harapnya. Untuk itu, Perma praperadilan ini diharapkan bisa memperbaiki standar hukum acara praperadilan sesuai amanat putusan MK.

Dia mengatakan ada beberapa implikasi putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Salah satunya, diperkirakan semakin banyak perkara praperadilan ke pengadilan, sehingga aparat penegak hukum harus lebih siap menghadapi banjir praperadilan di tengah keterbatasan SDM aparat penegak hukum.

“Pesan dari putusan MK itu juga proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan harus lebih hati-hati dan cermat terutama ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, penetapan tersangka tanpa standar dua alat bukti pasti akan diuji di forum praperadilan,” tambahnya.

Pembicara lainnya, Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) PERADI Rivai Kusumanegara menilai terdapat sejumlah kelemahan akibat dimasukkannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Misalnya, praperadilan akan menjadi ‘peradilan keempat’ yang bisa memeriksa pokok perkara pidana selain pemeriksaan perkara di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan MA. Akibatnya, proses peradilan pidana semakin panjang dan bertentangan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan murah.

“Lalu, semakin menumpuknya perkara praperadilan karena seolah terbukanya upaya hukum ‘baru’ pasca putusan MK,” ujar Rivai dalam kesempatan yang sama.

Karena itu, untuk mengantisipasi dampak negatif dari implikasi putusan MK itu dibutuhkan Perma tentang Praperadilan. Perma ini mengatur hukum acara pidana praperadilan, kualifikasi penyidik dan hakimnya, jangka waktu penyelesaian permohonan praperadilan, upaya hukum peninjauan kembali (PK) hingga pelaksanaan putusan.

“Kelemahan ini perlu diantisipasi dengan membuat aturan main praperadilan. Jangka pendeknya, MA bisa mengeluarkan Perma karena harus ada pranata hukum menutupi dampak negatif dari putusan MK itu. Nantinya, aturan main ini dimasukkan dalam revisi KUHAP ke depan,” harapnya.

Juru Bicara MA Suhadi mengatakan MA belum memikirkan untuk menerbitkan SEMA/Perma praperadilan ini. Sebab, dirinya menganggap putusan MK terkait tafsir bukti permulaan dan perluasan objek praperadilan sudah cukup jelas.

“Sejauh ini belum ada, karena itu kewenangan pimpinan MA untuk mengeluarkan Perma/SEMA. Kan putusannya juga sudah jelas itu, apalagi Putusan MK itu sudah diumumkan di media, tentunya para hakim bisa membacanya,” kata Suhadi saat dihubungi.

Sebelumnya, MK mengabulkan uji materi terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron, Bachtiar Abdul Fatah dengan menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.

Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Artinya, MK telah memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan cukup yang harus dimaknai dengan 2 alat bukti yang sah ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka. Selain itu, MK telah memperluas objek praperadilan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Sumber: HukumOnline

MA Didesak Segera Terbitkan Perma soal Penetapan Tersangka

Mahkamah Konstitusi melalui putusan bernomor 21/PUU-XII/2014, akhir April lalu memperluas obyek kewenangan praperadilan. Hakim MK menyatakan penyitaan, penggeledahan, dan penetapan tersangka, merupakan obyek praperadilan. Usai putusan tersebut, beberapa kelompok mendesak Mahkamah Agung segera merespons putusan MK dengan menerbitkan peraturan internal.

“MA harus mempersiapkan perma yang mengatur standar pemeriksaan dua alat bukti dan hukum acara praperadilan. Peraturan itu harus sesegera mungkin diterbitkan untuk merevisi panduan praperadilan yang selama ini dipegang oleh hakim,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, Jumat (8/5).

Supriyadi berkata, putusan MK memang dapat mengakibatkan pengadilan negeri kebanjiran perkara praperadilan. Hal itu terjadi karena selama ini pencari keadilan tidak memiliki wadah untuk mengajukan permohonan pengujian sah atau tidaknya penetapan tersangka. “Pasti terjadi tsunami karena selama ini ditutup,” ucapnya.

Untuk itulah, menurutnya, keberadaan perma akan begitu vital. Meski presiden dapat mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang, Supriyadi tidak melihat potensi banjir permohonan praperadilan sebagai suatu kegentingan yang memaksa.

Supriyadi berharap, melalui perma itu MA juga mengatur jumlah ketersediaan hakim yang khusus menangani praperadilan, tempat sidang dan jangka waktu persidangan.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, putusan MK ini merupakan jawaban atas permohonan judicial review yang diajukan tersangka korupsi bioremediasi PT Chevron, Bachtiar Abdul Fatah.

MK mempertimbangkan, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga asas due process of law harus dijunjung tinggi oleh seluruh pihak lembaga penegak hukum demi menghargai hak asasi seseorang.

Sementara mengacu pada KUHAP, MK berpandangan prinsip due process of law belum diterapkan secara utuh lantaran KUHAP tidak mengakomodir pengujian terhadap alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka apakah diperoleh dengan cara yang sah atau tidak.

“Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang,” mengutip putusan MK

Sumber: CNN Indonesia

KUHAP, Court Reform Needed to Uphold Justice and Legal System, Activists Say

 Activists on Friday called on the government and legislature to deliberate on a planned revision of the Criminal Code of Procedures following last week’s ruling by the Constitutional Court to expand the jurisdiction of pretrial hearings.

The court had ruled that a pretrial hearing can also pass judgement on a suspect’s legal status, giving the judge the authority to examine if law enforcers had enough preliminary evidence to investigate and charge someone.

Earlier, a pretrial motion could only rule on the technical aspects of an investigation, such as the arrest and seizure of property.

The court also clarified one article of the code, known as the Kuhap, saying that laying charges against a person must be based on two pieces of evidence and that law enforcers were obliged to first question the suspects about the accusations against them.

The ruling would force law enforcement agencies to stop abusing their authorities and lay bogus charges on their enemies, the Institute for Criminal Justice Reform said.

But it also means courts will have to cope with an influx of suspects, including corrupt officials and hardened criminals, looking to have the charges against them dropped.

“We urge the government as well as the House of Representatives to immediately revise the Kuhap,” ICJR executive director Supriyadi saidon Friday.

Proposed revisions include an added requirement of the establishment of a team of judges to conduct pretrial examinations. The judges can then decide if a case is fit for trial.

“This is necessary to make sure law enforcers don’t get testimonies or admissions by force,” Supriyadi said.

A revision of the Kuhap would also prevent suspects from trying to get charges against them dropped, he added.

“A pretrial hearing was intended to provide control and supervision of the law enforcement process, but this could be derailed,” he said.

Rivai Kusumanegara of Peradi, the national bar association, said the Constitutional Court’s ruling added another layer to the judicial process, which he argued went against the principle of a speedy, simple and cheap court system.

“This will definitely hinder law enforcers’ work and stop them from finishing ongoing cases. The Kuhap revision needs to be enacted immediately to ensure that such problems are prevented and addressed,” Rivai said.

Sumber: Jakarta Globe