Tag Archives: R KUHAP

DPR Tidak Kondusif, Prolegnas Terancam Molor

Berharap Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dapat diselesaikan dalam masa sidang kedua DPR, Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR RI Saan Mustopa mengaku masih ada masalah. Belum ditetapkannya pimpinan Baleg yang berasal dari Koalisi Indonesia Hebat, menjadi salah satu masalah dalam penetapan Prolegnas.

“Sekarang persoalan cuma satu saja. Penetapan pimpinan di Baleg ini kan belum dilakukan, kita inginlah pimpinan itu terlibat dalam penyiapan Prolegnas ini,” tutur Saan kepada CNN Indonesia, Selasa (20/1).

Selain itu, ia juga mengatakan pemerintah belum memasukkan rancangan undang-undang apa saja yang akan dimasukkan ke dalam Prolegnas. Kendati demikian ia memaklumi hal tersebut karena masih diperlukannya waktu bagi pemerintah untuk melakukan konsolidasi dengan menteri-menteri terkait.

“Sampai hari ini sepertinya belum ada dari pemerintah. Tapi pemerintah kan juga perlu waktu untuk konsolidasi UU apa saja yang akan dibahas dengan DPR untuk dimasukkan ke Prolegnas,” tuturnya.

Jika prolegnas dapat selesai dalam masa sidang kedua DPR ini, menurut Saan, setiap komisi nantinya dalam masa sidang berikutnya sudah dapat bekerja dengan pembahasan melalui undang-undang yang telah diselesaikan.

Ia menyebutkan ada sekitar 130 rancangan undang-undang yang telah diterima oleh Baleg. “Setiap komisi kan rata-rata sepuluh RUU. Kemudian pertahun juga ada lima pansus. Kira-kira sekaranf ada 130an lebih,” ungkapnya.

Warisan 2009-2014

Dari 130 RUU yang telah masuk dalam daftar di Baleg, ada beberapa yang merupakan warisan dari periode-periode sebelumnya, seperti RUU KUHAP/KUHP, Kejaksaan, Advokat, dan Disabilitas.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat ini mengakui, dalam pembahasannya nanti tentu ada RUU yang akan lebih diprioritaskan terlebih dahulu dalam penyelesaiannya, seperti RUU Pilkada.

“Pileg dan Pilpres kan akan serentak di 2019. Ini perlu kesiapan, terutama di undang-undangnya. Ini kan menjadi sosialisasi KPU ke masyarakat,” tutur Saan.

Selain itu, RUU KUHAP/KUHP juga menjadi prioritas untuk diselesaikan oleh Baleg. “Ini kan dari periode sebelumnya, bahkan sebelumnya lagi. Kita ingin diprioritaskan supaya nanti dalam masa periode ini bisa selesai,” tegasnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan menegaskan, jika RUU KUHAP dan KUHP menjadi prioritas utama, khususnya bagi Komisi Hukum DPR tersebut, lantaran KUHAP dan KUHP menjadi dasar bagi UU hukum lainnya, seperti UU Kejaksaan, UU Mahkamah Agung, UU Kepolisan, UU Advokat dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Kita harus mengulang dari awal, karena tidak ada konsep carry over dari periode sebelumnya. Ini PR paling besar, KUHAP dan KUHP, dari jaman Belanda masih seperti itu,” ungkapnya.

Sumber: CNN Indonesia

MA Usul Pembatasan PK Dicantumkan dalam RUU KUHAP

Mahkamah Agung (Hatta Ali) mengusulkan, pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dicantumkan dalam revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Pencantuman dianggap dapat memberikan kepastian hukum.

“Untuk pembentuk UU, karena sedang membahas rancangan KUHP maupun KUHAP supaya (pembatasan pengajuan PK) bisa dimasukan sebagai solusi yang terbaik. Apakah dimasukan pembatasan (jumlah) PK atau pembatasan waktu untuk mengajukan PK,” kata Hatta Ali di Gedung MA, Jakarta, Rabu (7/1).

Senada dengan Hatta, Juru Bicara MA Suhadi menuturkan MA sepakat jika pembatasan PK dimasukkan dalam revisi KUHAP. “Sekarang revisi KUHAP sedang dibicarakan rancangannya, kalau ada regulasi tentang itu (pembatasan PK), ya silakan saja,” ujar Suhadi.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam paparan rencana kerja tahun 2015 di kantornya, Senin (5/1), menuturkan Rancangan Undang-Undang KUHP dan KUHAP masuk dalam Program Legislasi Nasional.

Akhir tahun lalu, MA mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2014 yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali. Dalam surat edaran tersebut, Ketua MA Hatta Ali meminta Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas pengajuan PK kedua kalinya ke MA.

Namun MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009.

Polemik PK bermula ketika bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar menggugat Pasal 268 ayat 3 KUHAP. Mahakmah Konstitusi dalam putusan Nomor 34/PUU-XI/2013, membatalkan pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusan tersebut, MK mengizinkan PK lebih dari satu kali. Lantas, baik terpidana maupun ahli warisnya dapat mengajukan PK atas PK.

Sumber: CNN Indonesia

Komisi III DPR dapat masukan dari pengadilan

Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin mengatakan Komisi III mendapat banyak masukan pada saat melakukan kunjungan kerja ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Selasa.

Aziz menjelaskan, pada kunjungan Komisi III DPR RI ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Komisi III mendapat masukan agar DPR RI mengatur lebih rinci soal peninjauan kembali dan prapradilan yang dimasukkan dalam RUU KUHAP, serta memasukkan kepastian hukum dalam investasi ke dalam RUU KUHP yang sedang dibahas.

Pada pertemuan itu, kata dia, Komisi III DPR RI juga mendaoat masukan soal hakim komisaris terkait putusan prapradilan.

“Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengusulkan perlu adanya suatu kepastian hukum dalam memutus suatu perkara terhadap perkara yang telah diberikan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan),” katanya.

Menurut dia, SP3 diberikan terhadap perkara yang sudah dihentikan penuntutannya atau sudah ada Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) bila tidak ada bukti baru (novum).

Pada pertemuan tersebut, ada keluhan dari Wakil Kepala Pengadilan Tinggi DKI Jakarta perihal rekrutmen calon hakim agung yang dicurigai ada proses yang tidak adil pada saat seleksi di Komisi Yudisial sehingga membuat banyak hakim enggan mendaftar menjadi calon hakim agung.

“Keluhan itu akan kami tanyakan dengan KY pada saat RDP,” katanya.

Selain ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Komisi III DPR RI juga menjadwalkan melakukan kunjungan kerja ke Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Tinggi Militer.

Sumber: Antara

RUU KUHP dan KUHAP Harus Jadi Prioritas

Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI Martin Hutabarat kembali mendapatkan tugas sebagai anggota Komisi III. Salah satu misi penting yang ingin dituntaskannya pada periode lima tahun ke depan, menyelesaikan pembahasan RUU KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Ini kehormatan bagi saya bisa melaksanakan tugas kembali di Komisi III. Satu yang jadi perhatian saya adalah RUU KUHAP dan KUHP, ini harus bisa kita selesaikan pada periode ini,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (22/10/14).

Martin yang pada periode sebelumnya juga bertugas di Komisi Hukum ini berharap seluruh fraksi mempunyai komitmen yang sama untuk menyelesaikan produk legislasi yang ditunggu-tunggu publik ini.

Ia juga menyebut sejumlah RUU lain yang perlu diselesaikan pembahasannya yaitu RUU Kepolisian, RUU Kejaksaan dan RUU Mahkamah Agung.

Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan anggota Komisi III dari lima fraksi telah ditetapkan secara resmi. Lima fraksi lainnya yaitu FPDIP, FPKB, FP Nasdem, FP Hanura dan FPPP masih meminta waktu.

Anggota Komisi III dari FPG sembilan anggota yaitu Azis Syamsuddin, Bambang Soesatyo, John Kenedy Azis, Yayat Yulmaryatmo Biaro, Agus Gumiwang Kartasasmita, Adies Kadir, Zainudin Amali, Andika Hazrumy dan Wenny Haryanto.

FPGerindra tujuh anggota, Sufmi Dasco Ahmad, Desmond Junaidi Mahesa, Sareh Wiyono, Wihadi Wiyanto, Iwan Kurniawan, Wenny Warouw dan Martin Hutabarat. FP Demokrat enam anggota yaitu Didik Mukrianto, Benny Kabur Harman, Ruhut Poltak Sitompul, Erma Suryani Ranik, Liberth Kristo Ibo dan Sutan Sukarnotono.

FPAN empat anggota Mulfachri Harahap, Muslim Ayub, Daeng Muhammad dan Tjatur Sapto Edy. Selanjutnya FPKS juga empat anggota Aboe Bakar Al-Habsyi, TB. Soenmandjaja, Al Muzammil Yusuf dan Muhammad Nasir Djamil.

Sumber: Pikiran Rakyat.com

Peraturan MA Soal PK Berulang Belum Rampung Juga

Mahkamah Agung hingga saat ini belum merumuskan aturan teknis terkait permohonan peninjauan kembali berkali-kali. Padahal, beleid aturan yang disebut juga Peraturan Mahkamah Agung itu direncanakan selesai saat pelantikan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2014 lalu.

“Masih berjalan di kelompok kerja penyusunan rancangan peraturan itu,” kata Ridwan Mansyur, kepala biro Hukum dan Humas MA, di kantor Sekretariat Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Kamis, 18 Desember 2014. “Belum jadi.”

Perumusan Perma ini terkait dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materi Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang diajukan oleh bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. Mahkamah menilai pengajuan PK yang hanya satu kali seperti tertulis dalam Pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan rasa keadilan.

Akibatnya, Mahkamah membatalkan Pasal itu dan terpidana boleh mengajukan permohonan PK lebih dari satu kali atau berkali-kali. Ridwan mengatakan setelah MK membuat putusan itu, belum ada ketentuan secara jelas yang mengatur proses permohonan PK.

“Seperti, bagaimana mekanisme dan pengajuan PK untuk yang kedua kalinya, tata caranya belum ada dan itu yang sedang kami bahas,” kata Ridwan. “Sepanjang sedang dibahas, kami saat ini memberikan kewenangan kepada pengadilan negeri untuk membuat peraturan sementaranya dulu. Karena pengadilan negeri merupakan pintu masuk permohonan PK.”

Adapun kelompok kerja penyusun Perma itu dipimpin oleh Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar. Ridwan berharap penyusunan Perma itu dapat diselesaikan secepafg mungkin untuk selebihnya ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sumber: Tempo.co

PR Utama Menkumham Baru Selesaikan RUU KUHAP dan KUHP

Sebagai Menteri Hukum dan HAM baru, Yosanna Hamonangan Laoly diminta segera bekerja untuk bisa menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam waktu cepat.

“Kemenkumham harus segera membereskan KUHAP dan KUHP dalam waktu sesingkatnya,” ujar pengamat hukum tata negara, Margarito Kamis, saat dihubungi Republika, Selasa (28/10).

Margarito menuturkan pembahasan RUU KUHP dan KUHP yang tertunda di DPR harus segera dilanjutkan, sebab penyelesaian dua RUU tersebut sangat fundamental. Menurutnya terlalu banyak kelemahan-kelemahan di dalam RUU KUHAP, serta tidak cukup memperkuat dalam kontek pemberantasan korupsi.

Selain itu, dalam RUU tersebut, penegak hukum bisa bermain dalam penyidikan. Margarito mengatakan Menkumham baru harus bisa menyelesaikan dua RUU tersebut dalam satu sampai dua tahun. Serta memastikan penundaan pembahasan bisa dilanjutkan.

“RUU Itu sudah masuk DPR dan ditunda, Menkumham harus memastikan pembahasan dilanjutkan. Selain itu Menkumham Baru juga tidak boleh takut pada kritik,” katanya.

Margarito menambahkan, Yosanna harus mampu melakukan koordinasi antara pihak pemerintah dan DPR agar bisa segera menuntaskan dua RUU tersebut di masa kepemimpinan Yosanna.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan kabinet kerja era pemerintahannya periode 2014-2019. Salah satu nama yang menjadi menteri Hukum dan HAM adalah politisi PDIP, Yasonna Hamonangan Laoly.

Sumber: Republika Online

3 Alasan Polisi Kerap Menyiksa demi Informasi

Anggota Komisi Kepolisian Nasional, M. Nasser, mengatakan ada tiga alasan mengapa polisi kerap melakukan kekerasan dalam pengungkapan kejahatan. “Alasan utama, penyidik polisi masih mengejar pengakuan tersangka,” ujar Nasser ketika dihubungi, Selasa, 9 Desember 2014.

Padahal, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pengakuan tersangka bukan variabel terpenting dari pengungkapan kasus. “Pengakuan itu nomor lima, sebelumnya harus ada keterangan saksi, ahli, dokumen, dan kesesuaian fakta hukum lain.”

Kedua, tutur Nasser, kurangnya pengetahuan anggota kepolisian soal hak asasi manusia, karena minimnya pengawasan dari atasannya. Selama ini, kata Nasser, materi hak asasi manusia yang diberikan kurang secara kualitas dan kuantitas.

Ketiga, lemahnya sanksi yang diberikan kepada anggota. “Kejadian terhadap Kuswanto bukan baru sekali terjadi, tapi pelakunya selalu dibela,” ujarnya. Berdasarkan KUHAP, menyalahi prosedur mendapat sanksi administratif, dari teguran hingga pemecatan. “Harusnya langsung saja dipecat dan sanksinya menyentuh hingga dua tingkat di atasnya.”

Pihak Mabes Polri belum berhasil dikonfirmasi ihwal metode penyiksaan yang kerap dilakukan polisi untuk mengorek keterangan tersangka ataupun saksi. Juru bicara Mabes Polri, Frankie F. Sompie, belum menjawab pesan pendek dan belum dapat dihubungi oleh Tempo.

Kasus terbaru dugaan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian menimpa Kuswanto. Ia mengaku disiksa 13 polisi di Kudus, Jawa Tengah. Kuswanto mengaku telah melaporkan kasus yang menimpanya ke polisi tapi tak kunjung selesai.

Dia sudah melaporkannya ke Propam lima bulan lalu dan Bareskrim Polri November kemarin. Kuswanto disiksa karena dituduh merampok toko es krim di Kudus pada November 2012. Setahun kemudian, polisi menangkap pelaku perampokan sebenarnya.

Sumber: Tempo.co

Komisi III Akan Lanjutkan Pembahasan RUU KUHAP

Pimpinan Komisi III sudah dibentuk dan dapat segera melaksanakan tugas serta fungsinya. Wakil Ketua Komisi III Desmon Junaedi Mahesa menyatakan salah satu yang akan dibahas adalah RUU KUHAP dan KUHP.

“Yang pasti kita lanjutkan pembahasan RUU KUHAP dan KUHP. Kita lanjutkan pembahasan UU MA. Kita lanjutkan yang belum selesai. Tentu yang ini akan kita bahas lagi,” ujar Desmon di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2014).

Dia tak mempermasalahkan persepsi publik yang menganggap RUU KUHAP dan KUHP disebut melemahkan KPK. Menurut dia RUU ini justru menguatkan KPK.

“Begini lho, apa pun kalau kita sentuh KPK kesannya melemahkan. Setiap kita mau beri masukan dianggapnya melemahkan. Atau bahasa lain mereka tak mau diganggu?” ucap politikus Gerindra itu.

Padahal KPK dianggap dia sering merasa kekurangan dalam kewenangan, sehingga seringkali terhalang dalam melakukan penyidikan. Maka itu RUU ini akan dilanjutkan.

“Kemudian RUU ini kan diusulkan pemerintah (periode 2009-2014), kenapa yang dianggap mau melemahkan justru DPR?” pungkas dia.

Sumber: Detik.com

RUU KUHAP Belum Penuhi Hak Penyandang Disabilitas

Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinilai belum memenuhi hak para penyandang disabilitas. RUU KUHAP belum memiliki ketentuan dan prosedur yang jelas mengenai penanganan kasus hukum yang menimpa penyandang disabilitas.

“Penanganan kasus di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan belum mengakomodasi kebutuhan khusus penyandang disabilitas di hadapan hukum. Misalkan penerjemah bahasa isyarat dan penerjemah bagi penyandang disablitas mental,” ujar Pengacara Publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Marulitua Rajagukguk di Kantor LBH, Jakarta, Selasa (4/3/2014).

Maruli menjelaskan, dalam RUU KUHAP, hanya ada dua pasal yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas, yaitu Pasal 91 ayat 2 dan Pasal 168 ayat 1 dan 2 RUU KUHAP. Pasal 91 ayat 2 berbunyi: “Dalam hal tersangka atau terdakwa buta, bisu, atau tuli diberikan bantuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168.”

Adapun Pasal 168 ayat 1  berbunyi: “Jika terdakwa atau saksi bisu, tuli, atau tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi tersebut sebagai penerjemah.”

Dalam Pasal 168 ayat 2 yaitu: “Jika terdakwa atau saksi bisu atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran secara tertulis kepada terdakwa atau saksi tersebut untuk diperintahkan menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.”

Menurut Maruli, kedua pasal tersebut lebih mengatur ketentuan pada proses persidangan. Sedangkan, di tingkat penyidikan, hak penyandang disabilitas belum diatur dengan jelas. “Dalam konteks penyidikan atau perkara yang belum disidangkan, belum diatur dengan jelas,” katanya.

Padahal, lanjut Maruli, jumlah penyandang disablitas terbilang cukup banyak. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2010, jumlah penyandang disabilitas mencapai 11 juta jiwa. Menurut Maruli, jumlah itu pun diperkirakan meningkat pada tahun 2014.

“Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sangat besar. Maka perlindungan terhadap penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum harus diatur dalam RUU KUHAP yang semestinya menjadi lebih baik dibanding KUHAP. Tetapi ini nyatanya tidak,” kata Maruli.

Menurut Maruli, hal ini menyebabkan hak penyandang disabilitas dalam kasus hukum menjadi terpinggirkan. Banyak kasus hukum yang menimpa penyandang disabilitas tidak diproses. Koalisi untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana pun meminta DPR dan pemerintah menunda pembahasan RUU KUHP-KUHAP karena masih banyak substansi yang perlu diperbaiki, khususnya masalah perlindungan terhadap penyandang disabilitas.

Sumber: Kompas.com