Tag Archives: putusan bebas

Kisah Contra Legem Pasal 244 KUHAP

Putusan pengadilan negeri yang membebaskan terdakwa kini sudah bisa dikasasi. Memunculkan debat panjang tentang putusan bebas murni dan bebas tidak murni.

Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 275 K/Pid/1983 tertanggal 15 Desember 1983 dijadikan Ahmad Rifai sebagai putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif. Dalam bukunya, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Rifai menguraikan sembilan contoh putusan hakim yang bernuansa progresif. Putusan MA di atas, atas nama terdakwa Raden Sonson Natalegawa, dimasukkan pada urutan pertama.

Dalam disertasi doktornya yang kemudian dibukukukan, Korupsi dan Hukum Pidana, Indriyanto Seno Adji juga memasukkan putusan kasus Natalegawa sebagai contoh eksistensi limitatif dari penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materiil melalui fungsi positif.

Dalam bukunya Rifai berargumen bahwa dalam kasus ini: ‘Mahkamah Agung telah melakukan suatu langkah terobosan, dengan melakukan interpretasi terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP’. Penuntut umum, menurut Pasal 244 KUHAP, sebenarnya terlarang untuk mengajukan kasasi jika terdakwa divonis bebas di tingkat pengadilan negeri.

Pasal 244 KUHAP menyebutkan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi ke Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Menerima kasasi jaksa dalam perkara Natalegawa berarti MA membuat contra legem terhadap Pasal 244 KUHAP.

Dalam putusan ini hakim telah menerobos kekakuan dan formalisme yang mengekang Pasal 244 KUHAP. Putusan bebas menjadi ‘amunisi’ bagi terdakwa sehingga cara apapun dilakukan agar hakim menjatuhkan vonis bebas. Jaksa tak bisa berbuat banyak karena ada larangan kasasi atas putusan bebas. Hingga akhirnya muncul putusan atas terdakwa Natalegawa. Eks Direktur Bank Bumi Daya ini dituduh korupsi, dan kemudian divonis bebas PN Jakarta Pusat.

Putusan ini termasuk yang ikut mengangkat perdebatan putusan bebas murni (zuivere vrijspraak) dan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak). Andi Hamzah, dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia (2001), menyebutkan kedua istilah ini ‘sangat penting karena telah berkembang suatu yurispudensi yang mengatakan bahwa bebas dari dakwaan tidak boleh dibanding’ hanya untuk yang bebas murni. Sedangkan bebas tidak murni bisa dipakai upaya hukum.

Bebas murni dan bebas tidak murni itulah yang kini sering ditemukan dalam pertimbangan-pertimbangan MA saat menghukum terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas pada tingkat pertama. Sekadar contoh kasus Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad, Bupati Lampung Timur Sartono, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin.

Kasus Posisi
Ikhwal kasus Natalegawa bisa dimulai dari putusan PN Jakarta Pusat No. 33/1981/Pidana Biasa tertanggal 10 Februari 1982. Natalegawa divonis bebas dari seluruh dakwaan (kumulatif) yakni Pasal 1 ayat (1) sub a; primer Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 KUHP, subsider Pasal 419 ayat (2) KUHP jo Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971, lebih subsider Pasal 418 KUHP jo Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971.

Natalegawa dianggap tidak terbukti melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau badan yang merugikan keuangan negara (korupsi). Terdakwa menyetujui pencairan kredit sebesar Rp14,247 miliar kepada pengurus PT Jawa Building (Endang Widjaja) yang dianggap jaksa tak sesuai peruntukan yakni membangun 658 rumah (real estate) tanpa persetujuan Bank Indonesia dan melanggar SEBI No. SE 6/22/UPK tanggal 30 Juli 1973 yang salah satunya melarang pemberian kredit untuk proyek real estate.

Namun, vonis bebas itu dibatalkan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta melalui putusan No. 45/1982/PT Pidana yang menerima permohonan banding jaksa. Majelis PT Jakarta yang mengadili sendiri menghukum Natalegawa selama 2 tahun dan 6 bulan penjara karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi seperti dalam dakwaan kesatu dan kedua primer itu.

Masih tak puas, saat hampir bersamaan jaksa dan terdakwa Natalegawa mengajukan kasasi pada pertengahan Desember 1982 yang diterima di Kepaniteraan PN Jakarta Pusat. Alhasil, majelis kasasi yang diketuai Adi Andojo Soetjipto beranggotakan Ismail Rahardjo dan Karlinah Palmini Achmad Soebroto mengabulkan kasasi keduanya dengan tetap menghukum Natalegawa selama 2 tahun dan 6 bulan penjara. Sebab, unsur memperkaya diri atau badan dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah terbukti.

Majelis kasasi merujuk pertimbangan putusan perkara No. 32/Subv/1978/Pid/VOR yang menyebut adanya fasilitas berlebihan dan keuntungan yang diterima (dinikmati) terdakwa Endang Widjaja. Selain itu, pemberian kredit kepada PT Jawa Building setelah berlakunya aturan larangan pemberian kredit untuk proyek real estate. Akibatnya, dana yang dikucurkan itu tidak dapat digunakan untuk sektor-sektor yang diprioritaskan pemerintah.

Meski vonisnya sama dengan putusan PT Jakarta, amar putusan kasasi MA No. 275K/Pid/1983 ini justru membatalkan kedua putusan judex factie terutama menyangkut penerapan Pasal 67 jo Pasal 244 KUHAP. Dalam pertimbangannya disebutkan dapat tidaknya putusan bebas dimintakan banding masih menjadi masalah hukum karena KUHAP baru berlaku (saat itu), sehingga masih belum pasti jawabannya. Karena itu, masa peralihan yang menimbulkan ketidakpastian hukum itu, MA menganggap adil apabila jaksa yang keberatan atas putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan negeri harus diartikan ditujukan ke MA.

Namun sesuai yurisprudensi (doktrin), apabila putusannya bebas murni (unsur-unsur yang didakwakan tidak terbukti sama sekali) sesuai Pasal 244 KUHAP, maka permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, apabila putusannya bebas tidak murni – seperti adanya unsur kekeliruan unsur tindak pidana, melampaui kewenangan (kompetensi absolut/relatif), nonyuridis – maka permohonan kasasi tersebut harus diterima.

Tak Mengenal
KUHAP sebenarnya tak mengenal istilah putusan bebas murni dan tidak murni. Sebab, penafsiran putusan bebas seperti disebut Pasal 191 ayat (1) KUHAP umumnya diartikan sebagai putusan bebas murni. Putusan bebas tidak murni yang dimaksud yurisprudensi itu adalah putusan bebas yang didasarkan pada pertimbangan putusan lepas dari tuntutan hukum itu (onslagvan rechtvervolging) yang diadopsi dari doktrin hukum.

Andi Hamzah mengutip A. Minkenhof (De Nederlandse Strafvordering, 1967), menyatakan suatu pembebasan tidak murni  adalah suatu putusan yang bunyinya bebas (vrijspraak) tetapi seharusnya merupakan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging). Bebas tidak murni bisa juga disebut lepas dari segala tuntutan hukum terselubung.

Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya ‘Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP’ penerobosan Pasal 244 KUHAP disebabkan adanya Kepmenkeh No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Pada angka 19 lampirannya terdapat penegasan : (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.

Sejak itu, jaksa kerap mencoba mengajukan kasasi dengan dalih putusan yang dilawan adalah putusan bebas tidak murni. Sebab, seolah-olah semua putusan bebas selalu dianggap jaksa sebagai putusan bebas tidak murni.Sebaliknya, dalam beberapa kasus vonis bebas terdakwa atau kuasa hukumnya berdalih normatif. Kasasi atas vonis bebas yang diajukan jaksa melanggar Pasal 244 KUHAP yang secara letterlijk melarang pengajuan kasasi atas putusan bebas.

Misalnya, kuasa hukum Muchdi Purwoprandjono, Mahendradata memprotes keras atas pengajuan kasasi  jaksa atas vonis bebas kliennya yang didakwa sebagai penganjur pembunuhan aktivis HAM Munir. Dia beralasan upaya kasasi atas vonis bebas jelas-jelas “menabrak” Pasal 244 KUHAP.

Selain itu, beberapa kasus korupsi dinyatakan bebas di tingkat pertama, tetapi divonis bersalah di tingkat kasasi. Diantaranya, kasus korupsi mantan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin dan mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mochammad yang divonis enam tahun penjara, dan lain-lain. Dengan begitu, MA-lah yang secara mutlak menentukan apakah suatu putusan bebas murni atau bebas tidak murni.

Putusan MK
Namun, sejak terbitnya putusan MK bernomor 114/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013 yang dimohonkan Idrus, polemik praktik kasasi atas vonis bebas berakhir. MK “melegalkan” praktik pengajuan kasasi atas vonis bebas dengan mengabulkan pengujian Pasal 244 KUHAP. Dalam putusannya, MK menghapus frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP. Artinya, setiap putusan bebas dapat diajukan upaya hukum kasasi ke MA.

Mahkamah berpendapat Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP tidak memberikan upaya hukum biasa (kasasi) terhadap putusan bebas. Hal ini berarti fungsi MA sebagai pengadilan kasasi terhadap putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan di bawahnya sama sekali ditiadakan. MK menyadari selama ini beberapa putusan bebas tidak diajukan banding (Pasal 67 KUHAP), tetapi bisa diajukan kasasi dan MA mengadilinya.

Padahal, Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak boleh diajukan kasasi. Hal Ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik. Meski begitu, putusan bebas yang diajukan kasasi, tidak boleh diartikan MA pasti menjatuhkan putusan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana. Namun, bisa saja dalam putusan kasasinya, MA sependapat dengan pengadilan di bawahnya yang sebelumnya telah membebaskan terdakwa.

Kata lain, putusan MK ini mengukuhkan praktik pengajuan kasasi atas vonis bebas yang selama bertahun-tahun berjalan. Putusan MK ini pun memberi pesan agar para hakim di tingkat pertama tidak mudah menjatuhkan vonis bebas karena putusannya masih bisa dikoreksi MA. Meski begitu, bagaimanapun tafsir Pasal 244 KUHAP tetap perlu dimasukkan dalam materi perubahan Rancangan KUHAP ke depannya demi terjaminnya kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.

Sumber: Hukumonline.com

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-X/2012

Perkara ini dimohonkan oleh  Dr. H. Idrus, M. Kes, yang menguji ketentuan Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) mengenai: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Batu uji dalam Permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan beberapa hal berikut:

  • Menyatakan bahwa frasa “bebas” pada Pasal 244 KUHAP adalah bebas murni atau juga termasuk bebas tidak murni;
  • Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244 KUHAP adalah tidak bermakna dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945; atau
  • Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244 KUHAP adalah tidak bermakna secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali jika diartikan dengan tegas melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan memori kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas dengan alasan apapun termasuk alasan bebas murni maupun bebas tidak murni;

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan  Pemohon dengan amar yang menyatakan:

  • Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945;
  • Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Unduh: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-X/2012.