Revisi KUHP dan KUHAP Penting Cegah Penyiksaan

Pelaku penyiksaan, sekalipun aparat penegak hukum, seharusnya mendapatkan sanksi. Polri akui kapasitas personilnya masih perlu ditingkatkan.

Lebih dari satu dekade Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (CAT). Namun, sampai saat ini penyiksaan masih terus terjadi. Catatan KontraS, misalnya, sepanjang periode 2013-214 terjadi 108 kali penyiksaan, 80 di antaranya melibatkan oknum kepolisian. Untuk mencegah penyiksaan berlanjut, perlu ada peraturan yang mengancam sanksi kepada pelaku penyiksaan, terutama untuk aparat penegak hukum.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, menilai pemerintah harusnya menindaklanjuti ratifikasi CAT dengan membentuk dan membahas RUU Tindak Pidana Penyiksaan. Menurutnya, RUU sejenis diperlukan karena ketentuan dalam KUHP dan KUHAP belum mampu memberi sanksi yang tegas terhadap pelaku penyiksaan.

“Kami harap ada UU yang khusus menangani kasus penyiksaan. Itu bisa menjadi alternatif di saat KUHP dan KUHAP sulit direvisi,” kata Haris dalam acara peringatan hari penyiksaan sedunia yang diselenggarakan KontraS di Jakarta, Kamis (26/6).

Haris berpendapat kasus-kasus penyiksaan marak terjadi karena dipicu oleh beberapa hal. Seperti absennya penegakan hukum yang tidak mengedepankan transparansi, akuntabel, jujur dan adil terhadap para pelaku penyiksaan, khususnya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu, penyelesaian kasus penyiksaan yang dilakukan aparat kerap diselesaikan lewat mekanisme internal, sehingga memperpanjang praktik impunitas.

Haris melihat terbatasnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap pemenuhan hak-hak korban memicu terjadinya praktik penyiksaan. Begitu pula dengan minimnya kemampuan institusi penegak hukum untuk mendorong munculnya efek jera kepada oknum.

Hasil pemantauan KontraS periode Juni 2014-Mei 2015 menemukan 84 kasus penyiksaan dengan korban 274 orang. Dari 84 kasus itu 35 kasus penyiksaan dilakukan oknum kepolisian, 15 kasus oleh petugas sipir penjara dan 9 kasus oleh TNI. Selain itu KontraS mencatat ada 25 kasus hukuman cambuk yang dilakukan aparat pemerintah daerah Aceh terhadap terhadap 183 orang.

Haris mengusulkan ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus serius menghentikan praktik-praktik penyiksaan di Indonesia. Terutama di wilayah yang rawan konflik seperti Papua, Poso dan Maluku. Evaluasi dan peningkatan pemahaman aparat penegak hukum dan keamanan (Polri dan TNI) juga diperlukan agar mereka mampu melakukan tugas dan fungsi penyelidikan serta penyidikan. Sehingga tidak menggunakan jalan pintas dengan menggunakan metode penyiksaan.

Kedua, pemerintah mempercepat pembahasan RUU KUHP atau RUU Tindak Pidana Penyiksaan untuk mengisi kekosongan hukum. Serta meratifikasi Protokol Opsional CAT dan Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. “Segera ratifikasi Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional yang bisa dijadikan rujukan dalam melihat ruang akuntabilitas untuk kejahatan penyiksaan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity,” ujarnya.

Ketiga, institusi-institusi negara independen yang mandatnya melakukan pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan harus secara ketat menggunakan alat ukur terpercaya. Institusi eksternal harus dipastikan bisa bersinergi dengan institusi lain untuk memastikan mekanisme pencegahan dan penghukuman atas kejahatan penyiksaan masih berjalan. Juga memastikan perlindungan kepada saksi, korban dan pemulihan hak-hak korban sesuai dengan standar hukum dan HAM internasional.

Direskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Krishna Mukti, mengakui praktik penyiksaan masih terjadi di Indonesia. Guna mengatasi kasus penyiksaan yang kerap terjadi dalam kepolisian diperlukan peningkatan kapabilitas anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya. Minimnya kemampuan aparat itu memicu munculnya praktik penyiksaan. “Penyiksaan itu kerap muncul sebagai dampak atau dianggap sebagai cara cepat untuk mengungkap suatu kasus,” paparnya.

Krisna mengatakan untuk mengurangi praktik-praktik penyiksaan oleh aparat kepolisian diperlukan pengawasan banyak pihak. Pengawasan yang baik akan mendorong langkah terfokus terhadap masalah-masalah yang perlu dibenahi. Langkah yang bisa dilakukan antara lain meningkatkan kapabilitas aparat kepolisian. Aparat kepolisian harus melek teknologi karena teknologi mempermudah aparat dalam mencari informasi guna mengungkap kasus. Mereka juga harus punya pengetahuan yang baik, termasuk pemahaman terhadap HAM dan konsep-konsep antipenyiksaan.

Dirjen HAM Kemenkumham, Mualimin Abdi, berjanji akan menindaklanjuti hasil pemantauan KontraS terhadap kasus-kasus penyiksaan, terutama yang dilakukan sipir penjara. Menurutnya, regulasi yang ada sudah secara jelas mengamanatkan agar setiap orang tidak boleh mengalami ketidakadilan seperti penyiksaan. “Tidak boleh seseorang itu diperlakukan tidak adil apalagi penyiksaan,” urainya.

Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan surat presiden, sebuah tanpa lampu hijau agar RUU KUHP dibahas bersama DPR. Mualimin menegaskan Kemenkumham akan menindaklanjuti surat Presiden Jokowi itu secepatnya. Berdasarkan rapat terakhir di Senayan, Kemenkumham dan Komisi III DPR sepakat untuk lebih dahulu merevisi Buku I UU KUHP. Jika itu selesai maka dilanjutkan Buku II. Pemerintah menargetkan revisi KUHP akan selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir.

Sumber: HukumOnline.com

Leave a Reply