RKUHAP dianggap lebih memiliki peran yang besar bagi sistem hukum di Indonesia.
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) direncanakan akan segera dibahas oleh DPR dan pemerintah. Bahkan, draf RKUHP yang merupakan inisiatif pemerintah itu ditargetkan akan tuntas pada DPR periode sekarang. Terkait hal ini, advokat senior Luhut MP Pangaribuan berpandangan berbeda.
Luhut menilai RKUHP seharusnya tidak dibahas lebih dahulu. Menurutnya, yang seharusnya lebih dahulu dibahas adalah Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). “Yang masuk prolegnas prioritas baru RKUHP, padahal sebenarnya ini (KUHAP, -red) lebih penting daripada KUHP nya,” ujarnya saat menjadi narasumber pada diskusi panel yang digelar oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) di Gallery BEI, di Jakarta (25/6).
Luhut menilai, RKUHAP lebih memiliki peran yang besar bagi sistem hukum di Indonesia, khususnya dalam sistem peradilan pidana (SPP). Dibandingkan dengan RKUHP, menurutnya, RKUHAP menjadi pegangan bagi penegak hukum khususnya dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan SPP.
“Menurut saya, RKUHAP ini sumbangannya terhadap bagaimana hukum kita besar sekali. Karena bagaimana polisi bekerja, hakim bekerja, bagaimana lawyer bekerja. Saya kira banyak diindikasikan oleh sistem peradilan pidana ini,” paparnya.
Luhut juga melihat bahwa SPP di Indonesia saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Ini dikarenakan pendekatan yang digunakan masih belum konsisten. “Kami menyadari kenapa sistem peradilan pidana kita belum sempurna sebagaimana kita harapkan, karena pendekatannya tidak konsisten pada konsep sebenarnya yang harus dianut,” terangnya.
Menurut Luhut, konsep ideal untuk RKUHAP ke depan adalah dengan menganut konsep due process of law atau due process model. Dengan konsep ini diharapkan bisa menjadi lompatan besar bagi perbaikan SPP di Indonesia. Sejak diundangkan pada tahun 1981, KUHAP telah menjadi ‘karya agung’ bagi bangsa Indonesia. Ia berharap, revisi nanti bisa menghasilkan sistem yang lebih modern.
“Jadi, kalau kita konsisten dengan hal ini, akan menghasilkan suatu sistem yang sungguh-sungguh lebih modern yang sesuai dengan sistem peradilan pidana yang ada secara universal,” ujar Luhut.
Tak sampai di situ, Luhut mengkritik DPR yang kerap tak fokus dalam membahas RUU. Ketidakfokusan ini berdampak kepada undang-undang yang dihasilkan oleh DPR. “Akibatnya undang-undang kita, saya kira banyak yang tidak sempurna. Jadi banyak kelemahan sehingga hukum kita sebagaimana yang kita ketahui sekarang ini,” katanya.
Di tempat yang sama, Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani sepakat dengan pemikiran yang diuutarakan Luhut. Menurut politisi dari PPP ini, RKUHAP jauh lebih penting untuk dibahas lebih dahulu daripada RKUHP. “Saya menyampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM, kenapa kok yang diajukan RKUHP dahulu, kenapa tidak RKUHAP? Itu menurut saya jauh lebih penting,” ujar Arsul.
Menurut Arsul, seandainya KUHP tidak direvisi sekalipun, hal itu tidak berpengaruh. Sebab KUHP sebagai hukum materill saat ini sudah ada hukumnya. “Karena KUHP tidak diapa-apakan, hukum materiil kita sudah ada sekarang. Harusnya menurut saya KUHAP dulu,” terangnya.
Arsul menduga, hal itu terjadi karena pemerintah belum menyiapkan draf RKUHAP untuk diberikan kepada DPR. Sehingga pembahasan kali ini lebih difokuskan kepada RKUHP yang drafnya sudah ada dan telah diberikan ke DPR oleh pemerintah. “Sebetulnya kalau DPR boleh memilih, kita lebih senang membahas KUHAP dulu daripada KUHP. Karena setelah KUHAP, lalu kita membahas undang-undang kelembagaan penegak hukum. KUHP mestinya bisa terakhir,” pungkasnya.
Sumber: HukumOnline.com