Category Archives: Bagian Kesembilan Tata Tertib Persidangan

Pasal 212

(1) Dalam ruang sidang, siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.

(2) Siapa pun yang berada di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintah hakim ketua sidang, yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.

(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tindak pidana yang ditentukan dalam suatu undang undang, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang undang tersebut.

Pasal 213

(1) Siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, alat atau benda yang dapat membahayakan keamanan sidang.

(2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seseorang di ruang sidang tidak membawa senjata, bahan, alat, ataupun benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam hal pada seseorang yang digeledah ditemukan membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, alat, atau benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas meminta yang
bersangkutan untuk menitipkannya.

(4) Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang untuk seterusnya, petugas wajib menyerahkan kembali senjata api, senjata tajam, bahan peledak, alat, atau benda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) titipannya.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan terhadap seseorang yang membawa senjata, bahan, alat, atau benda tersebut apabila ternyata bahwa penguasaan atas senjata, bahan, alat, atau benda tersebut merupakan tindak pidana.

Pasal 214

(1) Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang berkaitan dengan kepentingannya, baik langsung maupun tidak langsung.

(2) Dalam hal hakim mempunyai kepentingan dengan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim yang bersangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukumnya.

(3) Apabila terdapat keraguan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka ketua pengadilan tinggi yang menetapkannya.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi penuntut umum.

Pasal 215

(1) Dalam hal terdapat alasan yang kuat mengenai obyektivitas, kebebasan, dan keberpihakan hakim atau majelis hakim yang menyidangkan perkara, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum dapat mengajukan permohonan pergantian hakim atau majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

(2) Permohonan pergantian hakim atau majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebelum pemeriksaan perkara pokok kepada ketua pengadilan negeri.

(3) Dalam hal ketua pengadilan negeri tidak mengabulkan permohonan pergantian hakim atau majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan diajukan kepada ketua pengadilan tinggi.

(4) Apabila permohonan pergantian hakim atau majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari ketua pengadilan negeri membuat penetapan mengenai penggantian hakim atau majelis hakim.

Pasal 216

(1) Setiap terdakwa yang diputus pidana wajib membayar biaya perkara. (2) Dalam hal terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan kepada negara.

(3) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara dibebankan pada negara.

Pasal 217

(1) Jika hakim memberi perintah kepada seseorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di luar sidang, hakim dapat menunda pemeriksaan perkara sampai pada hari sidang yang lain.

(2) Dalam hal sumpah atau janji dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim menunjuk panitera untuk menghadiri pengucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat Berita Acaranya.

Pasal 219

(1) Panitera membuat dan menyediakan buku daftar untuk semua
perkara.
(2) Dalam buku daftar tersebut dicatat:
a. nama dan identitas terdakwa;
b. tindak pidana yang didakwakan;
c. tanggal penerimaan perkara;
d. tanggal terdakwa mulai ditahan apabila terdakwa berada dalam
tahanan;
e. tanggal dan isi putusan secara singkat;
f. tanggal penerimaan permintaan dan putusan banding atau
kasasi;
g. tanggal permohonan serta pemberian grasi, amnesti, abolisi,
atau rehabilitasi; dan
h. hal lain yang erat kaitan dengan proses perkara.

Pasal 220

(1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa, penasihat hukum, penyidik, dan penuntut umum, sesaat setelah putusan diucapkan.

(2) Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukum diberikan atas permintaan.

(3) Salinan surat putusan pengadilan hanya dapat diberikan kepada orang lain dengan seizin ketua pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dari permintaan tersebut.