Category Archives: Bagian Kesatu Panggilan dan Dakwaan

Pasal 135

(1) Penuntut umum memanggil secara sah kepada terdakwa untuk datang ke sidang pengadilan melalui alamat tempat tinggalnya.

(2) Dalam hal alamat atau tempat tinggal terdakwa tidak diketahui, panggilan disampaikan di tempat kediaman terakhir terdakwa.

(3) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa/kelurahan dalam daerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir.

(4) Dalam hal terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara, surat panggilan disampaikan kepada terdakwa melalui pejabat Rumah Tahanan Negara.

(5) Surat panggilan yang diterima oleh terdakwa sendiri atau oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.

(6) Apabila tempat tinggal ataupun tempat kediaman terakhir tidak diketahui, surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di gedung pengadilan tempat terdakwa diadili atau diperiksa.

(7) Apabila terdakwa adalah korporasi maka panggilan disampaikan kepada Pengurus ditempat kedudukan korporasi sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar korporasi tersebut.

(8) Salah seorang pengurus korporasi wajib menghadap di sidang pengadilan mewakili korporasi.

Pasal 136

(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, jam sidang, dan jenis perkara.

(2) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai.

(3) Dalam hal penuntut umum memanggil saksi, maka surat panggilan memuat hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai.

Pasal 154

(1) Penuntut umum terlebih dahulu mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli yang dihadirkan oleh penuntut umum.

(2) Setelah penuntut umum selesai mengajukan pertanyaan, penasihat hukum dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli.

(3) Penuntut umum dapat mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi atau ahli untuk memperjelas setiap jawaban yang diberikan kepada penasihat hukum.

(4) Penasihat hukum mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli yang dihadirkan oleh penasihat hukum dan kepada terdakwa.

(5) Setelah penasihat hukum selesai mengajukan pertanyaan, penuntut umum dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli dan kepada terdakwa.

(6) Penasihat hukum selanjutnya dapat mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi atau ahli, dan terdakwa untuk memperjelas setiap jawaban yang diberikan kepada penuntut umum.

(7) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau penasihat hukum kepada saksi atau ahli, dan terdakwa apabila hakim ketua sidang menilai bahwa pertanyaan tersebut tidak relevan dengan perkara yang disidangkan dan menyebutkan alasannya mengapa pertanyaan tertentu tidak diperbolehkan.

(8) Dalam hal diperlukan, hakim berwenang mengajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau penasihat hukum kepada saksi atau ahli, atau kepada terdakwa.

(9) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat meminta kepada saksi segala keterangan yang dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.