(1) Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan.
(2) Tindak pidana serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindak pidana:
a. terhadap Keamanan negara;
b. perampasan kemerdekaan/Penculikan;
c. pencurian dengan kekerasan;
d. pemerasan;
e. pengancaman;
f. perdagangan orang;
g. penyelundupan;
h. korupsi;
i. pencucian Uang;
j. pemalsuan uang;
k. keimigrasian;
l. mengenai bahan peledak dan senjata api;
m. terorisme;
n. pelanggaran berat HAM;
o. psikotropika dan narkotika; dan
p. pemerkosaan.
q. pembunuhan;
r. penambangan tanpa izin;
s. penangkapan ikan tanpa izin di perairan; dan
t. pembalakan liar.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapatdilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
(4) Penuntut umum menghadap kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersama dengan penyidik dan menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik tentang alasan dilakukan penyadapan tersebut.
(5) Hakim Pemeriksa Pendahuluan mengeluarkan penetapan izin untuk melakukan penyadapan setelah memeriksa permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberikan atau menolak memberikan izin penyadapan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus mencantumkan alasan pemberian atau penolakan izin tersebut.
(8) Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus dilaporkan kepada atasan penyidik dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.