Category Archives: Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-X/2012

Perkara ini dimohonkan oleh  Dr. H. Idrus, M. Kes, yang menguji ketentuan Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) mengenai: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Batu uji dalam Permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan beberapa hal berikut:

  • Menyatakan bahwa frasa “bebas” pada Pasal 244 KUHAP adalah bebas murni atau juga termasuk bebas tidak murni;
  • Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244 KUHAP adalah tidak bermakna dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945; atau
  • Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244 KUHAP adalah tidak bermakna secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali jika diartikan dengan tegas melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan memori kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas dengan alasan apapun termasuk alasan bebas murni maupun bebas tidak murni;

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan  Pemohon dengan amar yang menyatakan:

  • Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945;
  • Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Unduh: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-X/2012.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-XI/2013

Permohonan ini diajukan oleh Hendry Batoarung Ma’dika yang menguji ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP mengenai “tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”

Batu uji yang digunakan ialah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Dalam permohonan ini Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan beberapa hal berikut:

  • Menyatakan Ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak berlaku, sepanjang frasa kata “segera“‘ dimaknai tidak lebih dari 3 (tiga) hari setelah penangkapan tembusan surat perintah penangkapan harus disampaikan kepada keluarga bagi keluarga yang tinggal dalam satu wilayah kabupaten/kota yang sama dengan wilayah Kepolisian Resort yang melakukan penangkapan;
  • Menyatakan Ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak berlaku, sepanjang frasa kata “segera” dimaknai tidak lebih dari 1 (satu) minggu setelah penangkapan tembusan surat perintah penangkapan harus disampaikan kepada keluarga bagi keluarga yang tinggal dalam satu wilayah propinsi tapi di luar kabupaten/kota dengan wilayah Kepolisian Resort yang melakukan penangkapan;
  • Menyatakan Ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak berlaku, sepanjang frasa kata “segera” dimaknai tidak lebih dari 1 (satu) minggu setelah penangkapan tembusan surat perintah penangkapan harus disampaikan kepada keluarga bagi keluarga yang tinggal dalam satu wilayah provinsi tapi di luar kabupaten/kota dengan wilayah Kepolisian Resort yang melakukan penangkapan;

Terhadap permohonan ini, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan dengan menyatakan dalam amarnya:

  • Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”;
  • Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”;

Unduh: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-XI/2013.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-X/2012

Permohonan ini diajukan oleh Parlin Riduansyah yang menguji ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) KUHAP yang menyatakan:

1) Surat putusan pemidanaan memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa,

e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Batu uji yang diajukan dalam Permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi memutuskan beberapa hal berikut:

  • Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk menguji ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) terhadap UUD 1945 dan menyatakan Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan;
  • Menyatakan bahwa frasa “surat putusan pemidanaan memuat” antara lain “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah konstitusional secara bersyarat (conditionally constitutional) terhadap UUD 1945, sepanjang frasa itu dimaknai sebagai mencantumkan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dalam setiap putusan pemidanaan adalah bersifat imperatif dan mandatory pada semua putusan pemidanaan pada semua tingkatan pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung);
  • Menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 197 ayat (2) dalam hubungannya dengan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP adalah konstitusonal secara bersyarat (conditionally constitutional) terhadap UUD 1945 sepanjang frasa itu dimaknai sebagai putusan yang sejak semula dianggap tidak pernah ada, tidak mempunyai nilai hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat dieksekusi oleh jaksa;

Terhadap permohonan ini, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan untuk seluruhnya. Dalam amar putusannya mahkamah memaknai bahwa:

  • Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP bertentangan dengan UUD 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;
  • Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;
  • Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”;

Putusan makamah ini diperoleh dengan dissenting oppinion dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar yang berpendapat Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan pemohon dengan menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 merupakan persyaratan mutlak yang harus ada dalam isi surat putusan pemidanaan dan tidak dicantumkannya persyaratan tersebut dalam surat putusan mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum.

Serta Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva yang berpendapat Mahkamah tidak perlu menambahkan atau memaknai lagi Pasal 197 ayat (2) huruf k UU 8/1981 karena jelas dalam uraian pertimbangan Mahkamah bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf k adalah tidak bersifat imperative sehingga permohonan Pemohon ditolak. Jika Mahkamah memberi makna lain dari Pasal 197 ayat (2) huruf k UU 8/1981, maka hal itu, melampaui kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sesuatu yang di luar bahkan sama sekali bertentangan dengan permohonan Pemohon.

Unduh: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-X/2012.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/2010

Permohonan ini diajukan oleh Anggara, S.H., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., dan Wahyudi, S.H. Para pemohon menguji ketentuan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Batu uji yang digunakan dalam permohonan ini adalah Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Dalam permohonan ini Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan beberapa hal sebagai berikut:

  • Menyatakan materi muatan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945;
  • Menyatakan materi muatan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Para Pemohon dengan amar sebagai berikut:

  • Menyatakan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik  bertentangan dengan UUD 1945;
  • Menyatakan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Unduh: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/2010.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010

Permohonan ini diajukan oleh Darmawan, M.M., Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA, Adhel Setiawan, Eva Irma Muzdalifah, Syafrimal Akbar Dalimunthe, Muhidin M. Dahlan, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia. Para pemohon menguji beberapa ketentuan sebagai berikut:

  • Pasal 30 ayat (3) huruf C UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan mengenai “Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: c. pengawasan peredaran barang cetakan.
  • Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan mengenai “Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.”
  • Pasal 6 UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan mengenai ”Terhadap barang-barang cetakan yang dilarang berdasarkan Penetapan ini dilakukan pensitaan oleh Kejaksaan, Kepolisian atau alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum

Batu uji yang digunakan dalam permohonan ini adalah Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28H ayat (4), Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Dalam permohonan ini Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan beberapa hal sebagai berikut:

  • Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 30 ayat (3) huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan, “pengawasan barang cetakan”, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
  • Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 30 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan, “pengawasan peredaran barang cetakan” dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia;
  • Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1 UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum juncto UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang yang menyatakan,

(1) ”Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum”.
(2) ”Keputusan Menteri Jaksa Agung untuk melarang beredarnya barang cetakan seperti tercantum dalam ayat (1) tersebut. dicantumkan dalam Berita-Negara”
(3) ”Barangsiapa menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan yang terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah”

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945

  • Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1 UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum juncto UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang yang menyatakan,

(1) ”Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum”.
(2) ”Keputusan Menteri Jaksa Agung untuk melarang beredarnya barang cetakan seperti tercantum dalam ayat (1) tersebut. dicantumkan dalam Berita-Negara”.
(3) ”Barangsiapa menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan yang terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah”.

dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dimuat dalam Berita Negara.

  • Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 6 UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum juncto UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang yang menyatakan, ”Terhadap barang-barang cetakan yang dilarang berdasarkan Penetapan ini dilakukan pensitaan oleh Kejaksaan, Kepolisian atau alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum”. Dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
  • Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 6 UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum juncto UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang yang berbunyi,”Terhadap barang-barang cetakan yang dilarang berdasarkan Penetapan ini dilakukan pensitaan oleh Kejaksaan, Kepolisian atau alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum”. dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Para Pemohon dengan amar sebagai berikut:

  • UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum juncto UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang bertentangan dengan UUD1945;
  • UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum juncto UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  • Pengujian Pasal 30 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditolak

Terhadap putusan ini, seorang Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yang berpendapat bahwa Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/PNPS/1963 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitusional), yaitu bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai :

  • Wewenang jaksa agung untuk melarang peredaran barang cetakan hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat izin dari pengadilan
  • Alasan melanggar ketertiban umum paling tidak harus memenuhi tiga unsur, yaitu a). Perbuatan mengedarkan barang cetakan tersebut adalah perbuatan yang melanggar ketentuan undang-undang; b). Akibat peredaran barang cetakan tersebut menimbulkan terganggunya ketertiban umum; c). Terganggunya ketertiban umum tersebut harus nyata atau potensial pasti terjadi

Hamdan Zoelva berpendapat, sepanjang kedua persyaratan konstitusional tersebut dipenuhi, tidak ada norma dalam seluruh pasal UU Nomor 4/PNPS/1963 yang bertentangan dengan UUD 1945.

Unduh: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-IX/2011

Permohonan ini diajukan oleh Tjetje Iskandar yang menguji ketentuan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang menyatakan: (1) “Terhadap putusan pra peradilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”; (2) “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan pra peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”;

Batu uji yang diajukan dalam Permohonan ini adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Dalam permohonan ini Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan sebagai berikut:

  • Menyatakan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
  • Menyatakan Pasal 83 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan  Pemohon dengan amar yang menyatakan:

  • Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945;
  • Pasal 83 ayat (2) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Unduh :Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-IX/2011

 

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010

Permohonan ini diajukan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH yang menguji ketentuan KUHAP sebagai berikut

  • Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
  • Pasal 1 angka 27 KUHAP yang berbunyi ”Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
    dari pengetahuannya itu”
  • Pasal 65 KUHAP yang berbunyi  “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”
  • Pasal 116 ayat (3) KUHAP yang berbunyi “Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.”
  • Pasal 116 ayat (4) KUHAP yang berbunyi “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut”
  • Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; … dst.”

Batu uji yang diajukan dalam Permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945

Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi memutuskan dua hal yaitu

  • Menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge adalah orang yang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang tidak selalu dan/atau mesti ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang tidak selalu dan/atau mesti ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Meminta dipanggil dan diperiksanya saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge adalah hak tersangka yang wajib dipanggil dan diperiksa oleh Penyidik, tanpa adanya kewenangan Penyidik untuk menilai dan menolak melaksanakan kewajiban itu.
  • Menyatakan bahwa putusan ini membawa implikasi kostitusional dan yuridis kepada Penyidik pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang memeriksa Pemohon, untuk memanggil dan memeriksa saksi-saksi yang menguntungkan yang diminta oleh Pemohon, yaitu Megawati Sukarnoputri, HM Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan Susilo Bambang Yudhoyono terhitung sejak Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 24 Juni 2010

Terhadap permohonan ini, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan sebagian sebagai berikut

  • Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan ,penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”
  • Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;

Unduh: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013

Permohonan ini diajukan oleh Antasari Azhar, S.H., M.H., Ida Laksmiwaty S.H., Ajeng Oktarifka Antasariputri. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berbunyi “Permintaan     Peninjauan     Kembali     atas     suatu     putusan hanya   dapat dilakukan satu kali saja”;

Batu uji yang digunakan dalam permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Dalam permohonan ini Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan tiga hal yaitu

  • Menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP berbunyi: “Permintaan   Peninjauan   Kembali atas  suatu   putusan   hanya   dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya keadaan baru (novum);
  • Menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP berbunyi: “Permintaan Peninjauan   Kembali atas     suatu     putusan     hanya     dapat dilakukan satu kali saja” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat jika dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya keadaan baru (novum);
  • Menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, selengkapnya berbunyi: “Permintaan Peninjauan   Kembali   atas   suatu   putusan   hanya   dapat dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan ditemukannya keadaan baru (novum) dapat diajukan lebih dari sekali ”.

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Para Pemohon dengan amar

Mengabulkan permohonan para Pemohon:

  • Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945;
  • Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Unduh Putusan MK No 34/PUU-XI/2013

Putusan Mahkamah Konstitusi No 98/PUU-X/2012

Perkara ini dimohonkan oleh Bonyamin dan Supriyadi. Kedua Pemohon menguji ketentuan Pasal 80 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu mengenai “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya

Batu uji dalam Permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945

Kedua Pemohon meminta dua hal dari Mahkamah Konstitusi yaitu

  • Menyatakan Pasal 80 KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian “Pihak Ketiga yang Berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP, tidak dimaknai termasuk pula “masyarakat luas yang diwakili Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi kemasyarakatan” sesuai maksud, tujuan, dan pembidangan Lembaga Swadaya Masyarakat dan atau Organisasi Masyarakat tersebut sesuai bobot keperluan umum atau kepentingan publik yang terganggu akibat suatu tindak pidana yang menimbulkan korban orang banyak atau masyarakat luas. Selanjutnya hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat dan atau Organisasi Masyarakat tersebut tidak memerlukan pengaturan khusus dalam Undang-Undang yang berkaitan untuk mengajukan gugatan praperadilan
  • Menyatakan Pasal 80 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian pihak ketiga yang berkepentingan tidak dimaknai termasuk pula “masyarakat luas yang diwakili Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi kemasyarakatan” sesuai maksud, tujuan, dan pembidangan Lembaga Swadaya Masyarakat dan atau Organisasi Masyarakat tersebut. Selanjutnya hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat dan atau Organisasi Masyarakat tersebut tidak memerlukan pengaturan khusus dalam Undang-Undang yang berkaitan untuk mengajukan gugatan praperadilan.

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkannya dengan amar putusan sebagai berikut:

  • Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
  • Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;

 Unduh Putusan MK No 98/PUU-X/2012.