Category Archives: BAB XII PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 135

(1) Penuntut umum memanggil secara sah kepada terdakwa untuk datang ke sidang pengadilan melalui alamat tempat tinggalnya.

(2) Dalam hal alamat atau tempat tinggal terdakwa tidak diketahui, panggilan disampaikan di tempat kediaman terakhir terdakwa.

(3) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa/kelurahan dalam daerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir.

(4) Dalam hal terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara, surat panggilan disampaikan kepada terdakwa melalui pejabat Rumah Tahanan Negara.

(5) Surat panggilan yang diterima oleh terdakwa sendiri atau oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.

(6) Apabila tempat tinggal ataupun tempat kediaman terakhir tidak diketahui, surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di gedung pengadilan tempat terdakwa diadili atau diperiksa.

(7) Apabila terdakwa adalah korporasi maka panggilan disampaikan kepada Pengurus ditempat kedudukan korporasi sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar korporasi tersebut.

(8) Salah seorang pengurus korporasi wajib menghadap di sidang pengadilan mewakili korporasi.

Pasal 136

(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, jam sidang, dan jenis perkara.

(2) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai.

(3) Dalam hal penuntut umum memanggil saksi, maka surat panggilan memuat hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai.

Pasal 138

(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara pidana tersebut tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ketua pengadilan negeri menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasan pelimpahan perkara.

(2) Surat pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kembali kepada penuntut umum, selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan.

(3) Turunan (salinan) surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada terdakwa, penasihat hukum, dan penyidik.

Pasal 139

(1) Dalam hal penuntut umum melakukan perlawanan terhadap surat penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada Pasal 138 ayat (1) maka penuntut umum mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang wilayah hukumnya meliputi tempat pengadilan negeri yang bersangkutan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan tersebut diterima.

(2) Perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) dan hal tersebut dicatat dalam buku daftar panitera.

(3) Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang wilayah hukumnya meliputi tempat pengadilan negeri yang bersangkutan.

(4) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak menerima perlawanan, dapat menguatkan atau menolak perlawanan tersebut dengan surat penetapan.

(5) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, dengan surat penetapan pengadilan tinggi memerintahkan pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut.

(6) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang bersangkutan.

(7) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan kepada penuntut umum.

Pasal 141

(1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.

(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili :
a. antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari lingkungan peradilan yang lain;
b. antara dua pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan tinggi yang berlainan; atau
c. antara dua pengadilan tinggi atau lebih.

Pasal 142

(1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan negeri menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut secara acak.

(2) Hakim yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetapkan hari sidang.

(3) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerintahkan kepada penuntut umum untuk memanggil terdakwa dan saksi datang di sidang pengadilan.

Pasal 143

(1) Pada hari sidang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (2), pengadilan wajib membuka persidangan.

(2) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.

(3) Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menjaga agar tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.

(4) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 17 (tujuh belas) tahun tidak dibolehkan menghadiri sidang.

Pasal 144

(1) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.

(2) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang berikutnya.